Ketika Anjing Menjadi Guru Bagi Orang Sholeh - .

Breaking

Cari Berita

Minggu, Maret 05, 2017

Ketika Anjing Menjadi Guru Bagi Orang Sholeh

Oleh: Reyza W Permadi (Mahasiswa STAIN Ponorogo)

AENEWS9.COM MAGETAN - Dewasa ini, kita banyak menyaksikan fenomena-fenomena dikalangan masyarakat muslim yang menguasai hanya beberapa ilmu saja dari beberapa buku, membaca satu atau dua hadits saja sudah merasa dirinya berilmu dan menganggap orang yang berbeda dari pemahamannya adalah salah.

Mereka mencacimaki orang lain dengan kata-kata kotor, menghina saudaranya layaknya seekor anjing yang mengoyak-ngoyak sebuah daging, sungguh ini adalah sikap yang paling dibenci oleh Allah.

Di dalam hati mereka timbul rasa takabur, sombong, dan tinggi hati. Padahal Islam mengajarkan bahwa didalam setiap hati orang-orang muslim tertanam rasa tawadlu. Apa mereka lupa bahwa iblis dilaknat oleh tuhannya dikarenakan takabur karena merasa lebih mulia dari pada Adam. Bukannkah nabi sudah memperingatkan bahaya takabur bagi umatnya. Didalam haditsnya Nabi Muhammad SAW bersabda:

Dari Ibn Mas’ud, dari Rasulullah Saw, beliaubersabda:

“Tidakakanmasuksorga, seseorang yang di dalamhatinyaadasebiji atom darisifatsombong”. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw: “Sesungguhnya seseorang menyukai kalau pakaiannya itu indah atau sandalnya juga baik.”

Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah Swt adalah Maha Indah dan menyukai keindahan. Sifat sombong adalah mengabaikan kebenaran dan memandang rendah manusia yang lain. [HR Muslim].

Untuk menangkal dari sifat takabur maka penulis di sini ingin menyajikan sebuah cerita tentang bagaimana seorang yang soleh diingatkan oleh Anjing ketika di dalam hatinya ada rasa takabur.

Pada suatu hari, Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang menyusuri sebuah jalan sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak, tak tahu kemana arah tujuan dengan pasti. Ia pun berjalan melewati jalanan yang lengang nan sepi.

Tiba-tiba dari arah depan ada seekor Anjing hitam berlari-lari. Syeikh Abu Yazid al-Busthami merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjingitu akan mendekatinya. Ternyata Anjing itu sudah mendekat di sampingnya.

Secara spontan beliau pun segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena merasa khawatir bila nanti bersentuhan dengan Anjing yang liurnya najis.
Tapi, betapa kagetnya beliau begitu mendengar Anjing hitam yang di dekatnya tadi memprotes: “Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”

Mendengar suara Anjing hitam seperti itu, beliau masih terbengong: “Benarkah ia bicara padaku? Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? ”Beliau masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Anjing hitam itu meneruskan celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah (kesombonganmu), maka dirimu tidak akan bias bersih walau kau basuh dengan tujuh samudera sekalipun!”

Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Anjing hitam yang ada di dekatnya itu, Beliau pun menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, Ia bias merasakan kekecewaan dan keluh kesah si Anjing hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menghina sesame makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.

“Ya, engkau benar Anjing hitam. Engkau kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih.” kata Syeikh Abu Yazid al-Busthami.

Ungkapan ini tentu saja merupakan ungkapan rayuan agar si Anjing hitam itu mau memaafkan kesalahannya. Jikalau sang Anjing mau berteman dengannya, tentu dengan sukarela ia mau memaafkan kesalahannya itu.

“Engkau tidak pantas untuk berjalan bersamaku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu. Tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu bagaikan raja. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esokhari!” kata si Anjing hitam.

Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih termenung dengan kesalahannya. Setelah dilihatnya, ternyata si Anjing hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si Anjing hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati.

“Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor Anjing milikMu. Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersamaMu yang abadi dan kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhlukMu yang terhina di antara semuanya.” Seru Syeikh Abu Yazid al-Busthami. Kemudian, dengan langkah yang sempoyongan beliau pun meneruskan perjalanannya, melangkahkan kakinya menuju kepesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang telah menunggu pengajarannya.

Selain kisah dari Abu Yazid Al-Busthami ada kisah dari Nabiyyullah Nuh AS. Diceritakan bahwa asal mula nama Nabi Nuh adalah Abdul Ghafar, ada cerita dibalik nama Nuh tersebut, Suatu ketika, dalam satu perjalanan, Abdul Ghoffar berpapasan dengan seekor Anjing lusuh bermata empat dan begitu mengerikan. Melihat hal aneh dan jarang beliau temui ini, beliau bergumam: “Wah, Anjing ini begitu jelek.” Sepertinya si Anjing mendengar gumaman beliau, dia terus memandangi manusia di hadapann yaitu dengan tatapan sinis. Sejurus kemudian, saat beliau hendak berlalu, tanpa diduga, si Anjing menyeru: “Hai Abdul Ghoffar! Siapa yang kaucela tadi? Ukirannya ataukah Pengukirnya?!”

 “Jika yang kaucela adalah ukirannya, yakni aku, maka ketahuilah bahwa aku tak pernah meminta untuk diciptakan menjadi Anjing seperti ini! Dan jika yang kaucela adalah Sang Pengukir, maka ketahuilah bahwa Dia melakukan apa yang Ia kehendaki dan tidak satu cela pun Ia punyai, ingat itu!”

Belum sempat Abdul Ghoffar berkata-kata, si Anjing berlalu begitu saja, meninggalkan beliau yang masih terbelalak dan merenungkan setiap butir kata-katanya. Beliau terus menerus memikirkan kata-kata si Anjing, semakin lama semakin beliau pahami maknanya. Tetes demi tetes air mata membasahi pipinya, beliau menyesal dan meratapi kekeliruan ucapan dan anggapannya. Sejakitu, karena banyaknya meratapi kesalahan (Naaha – Yanuuhu), beliau dijuluki orang-orang sekitarnya dengan sebutan ‘Nuh’, sang peratap.[1]

Itulah sepenggal hikmah bagaimana seorang sholeh diingatkan oleh seekor Anjing atas ketakaburan yang ada dalam hatinya bahwa mereka mengangggap hina ciptaan Tuhan. Tanpa sadar Anjing tersebut memberikan pengajaran bagi Abu Yazid dan Nabi Nuh AS tentang Ketwadlu’an.