AENEWS9.COM MADIUN - Sebanyak 50 Kepala
Keluarga (KK) di Kelurahan Bangunsari, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun,
Jumat (7/4/2017) menolak rencana sertifikasi tanah oleh PT. Kereta Api Indonesia
(KAI).
Alasan
penolakan sertifikasi ke 50 KK karena sejak tahun 1986, warga merasa menyewakan
lahan miliknya kepada PT. KAI.
Sedangkan PT.
KAI juga merasa memiliki hak tanah tersebut. Geger gonjang-ganjing kepemilikan
tanah yang akan di sertifikasikan itu tidak menemui titik terang.
Mediasi pun
di gelar di Balai Kelurahan Bangunsari antara warga yang menempati lahan milik
PT. KAI dengan pihak PT. KAI.
Dalam
mediasi tersebut berlangsung ricuh. Pihak warga mempertanyakan
bukti
kepemilikan lahan dari PT. KAI. Sedangkan pihak PT. KAI menyodorkan Kartu
Tanah (Ground Card) yang dianggap bukti kepemilikan lahan PT. KAI yang berada
di sepanjang ruas jalan umum Madiun-Ponorogo.
Warga
menolak Kartu Tanah yang di tunjukkan pihak PT. KAI, karena dalam tulisan Kartu
Tanah tersebut masih menggunakan bahasa asing (Belanda) dan di anggap sudah
tidak berlaku lagi.
Sempat
terjadi ketegangan saat salah satu dari petugas PT. KAI menggebrak meja dan
menyuruh warga untuk kembali duduk.
Salah satu
perwakilan warga, M. Ridwan mengatakan
pihak PT. KAI telah melakukan kebohongan dan pembodohan dan meminta untuk BPN
memproses secara benar.
"PT. KAI
telah melakukan pembodohan dan kebohongan kepada kami, BPN harus memproses ini
dengan benar," katanya.
Menurut M. Ridwan,
ada 50 KK yang menolak jika tanah yang di sewanya selama ini, disertifikatkan
menjadi milik PT. KAI. Dalam PP NO 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah pada pasal 45 menegaskan bila hak pakai
atas nama departemen perhubungan, PJKA tidak dapat di alihkan kepada PT. KAI .
"Masayarakat
sekarang sudah cerdas dan mengerti, kami harapkan mereka fair tidak ada yang di
sembunyikan,” tegasnya.
Ridwan
menilai, dirinya dan warga tidak bermaksud menguasai lahan milik negara
tersebut namun PT. KAI telah menyalahi aturan yang sudah di tetapkan.
Terlebih dalam PP NO 38 Tahun 1963, tentang Badan-Badan Hukum yang mempunyai
hak milik atas tanah, PT. KAI tidak termasuk Badan Hukum yang mempunyai hak
milik atas tanah negara.
Tanah yang
di tempati warga adalah milik negara, seharusnya warga membayar langsung ke
Kementerian Keuangan dan tidak ke PT. KAI. Berdasarkan Keppres Nomor 32 Tahun
1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas
Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat, pada pasal 5 Keppres tersebut menjelaskan,
bahwa tanah bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Pakai asal konversi hak barat
yang telah menjadi perkampungan atau di duduki rakyat akan di prioritaskan
kepada rakyat yang mendudukinya.
Lanjut
Ridwan, saat pertama kali menempati, warga langsung menyewa pada PJKA/Harga
yang di patok PJKA sesuai standar dan kesepakatan. Kala itu, tanah seluas 26x7
meter cukup disewa Rp 210 ribu setiap tahunnya. Namun sejak di ambil alih PT.
KAI tahun 2015, warga harus membayar Rp5,2 juta, kenaikan pembayaran sewa yang
di kenakan semakin mencekik leher.
“Kami tidak
sanggup membayar dan selain itu, PT. KAI telah melanggar Keppres No 32 Tahun
1979,” terangnya.
Kasi Hak
Tanah Dan Pendaftaran Tabag BPN Kabupaten Madiun, Widodo menyatakan bakal
memberi kesempatan bagi warga yang menolak penyertifikatan tanah tersebut untuk
mngajukan gugatan ke Pengadikan Negeri (PN) Madiun, sehingga hasilnya dapat di
tentukan melaui jalur hukum.
"Kami
sebenarnya hanya di undang saja dalam mediasi ini, tapi mediasi ini tampaknya belum
ada solusi, jadi kami persilakan warga menggugat jika tetap menolak,” tandasnya.
(rdm)