AENEWS9.COM MAGETAN - Dewasa ini, kita banyak
menyaksikan fenomena-fenomena dikalangan masyarakat muslim yang menguasai hanya
beberapa ilmu saja dari beberapa buku, membaca satu atau dua hadits saja sudah merasa
dirinya berilmu dan menganggap orang yang berbeda dari pemahamannya adalah salah.
Mereka mencacimaki
orang lain dengan kata-kata kotor, menghina saudaranya layaknya seekor anjing
yang mengoyak-ngoyak sebuah daging, sungguh ini adalah sikap yang paling dibenci
oleh Allah.
Di dalam hati mereka timbul
rasa takabur, sombong, dan tinggi hati. Padahal Islam mengajarkan bahwa didalam
setiap hati orang-orang muslim tertanam rasa tawadlu. Apa mereka lupa bahwa iblis
dilaknat oleh tuhannya dikarenakan takabur karena merasa lebih mulia dari pada
Adam. Bukannkah nabi sudah memperingatkan bahaya takabur bagi umatnya. Didalam haditsnya
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Dari Ibn Mas’ud, dari Rasulullah
Saw, beliaubersabda:
“Tidakakanmasuksorga, seseorang yang di
dalamhatinyaadasebiji atom darisifatsombong”. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi
Saw: “Sesungguhnya seseorang menyukai kalau pakaiannya itu indah atau sandalnya
juga baik.”
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Swt adalah Maha Indah dan menyukai
keindahan. Sifat sombong adalah mengabaikan kebenaran dan memandang rendah manusia yang lain.” [HR Muslim].
Untuk menangkal dari sifat
takabur maka penulis di sini ingin menyajikan sebuah cerita tentang bagaimana seorang
yang soleh diingatkan oleh Anjing ketika di dalam hatinya ada rasa takabur.
Pada suatu hari,
Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang menyusuri sebuah jalan sendirian. Tak seorang
santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya
berpijak, tak tahu kemana arah tujuan dengan pasti. Ia pun berjalan melewati jalanan yang lengang nan sepi.
Tiba-tiba dari arah depan ada seekor Anjing hitam berlari-lari. Syeikh Abu Yazid
al-Busthami merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjingitu akan mendekatinya. Ternyata Anjing itu sudah mendekat di sampingnya.
Secara spontan beliau pun segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena merasa khawatir bila nanti bersentuhan dengan Anjing
yang liurnya najis.
Tapi,
betapa kagetnya beliau begitu mendengar Anjing hitam yang di dekatnya tadi memprotes: “Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”
Mendengar suara Anjing hitam seperti itu, beliau masih terbengong: “Benarkah ia bicara padaku? Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? ”Beliau masih terdiam dengan renungan-renungannya.
Belum sempat bicara, Anjing hitam itu meneruskan celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan
air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah (kesombonganmu), maka dirimu tidak akan bias bersih walau kau basuh dengan tujuh samudera sekalipun!”
Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Anjing hitam yang ada di dekatnya itu, Beliau pun menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, Ia bias merasakan kekecewaan dan keluh kesah si Anjing hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menghina sesame makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.
“Ya,
engkau benar Anjing hitam. Engkau kotor secara
lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan
bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih.” kata Syeikh Abu Yazid
al-Busthami.
Ungkapan ini tentu
saja merupakan ungkapan rayuan agar si Anjing hitam itu mau memaafkan kesalahannya.
Jikalau sang Anjing mau berteman dengannya, tentu dengan sukarela ia mau memaafkan
kesalahannya itu.
“Engkau tidak pantas
untuk berjalan bersamaku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku
dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan
batu. Tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu bagaikan raja. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esokhari!” kata si Anjing hitam.
Syeikh
Abu Yazid al-Busthami masih termenung dengan kesalahannya. Setelah
dilihatnya, ternyata si Anjing hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan
yang sepi itu. Si Anjing hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat
hati.
“Ya Allah, aku tidak
pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor Anjing milikMu. Lantas, bagaimana
aku dapat berjalan bersamaMu yang abadi dan kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi
pengajaran kepada yang termulia di antara makhlukMu yang terhina di antara semuanya.”
Seru Syeikh Abu Yazid al-Busthami. Kemudian, dengan langkah yang sempoyongan beliau
pun meneruskan perjalanannya, melangkahkan kakinya menuju kepesantrennya. Ia sudah
rindu kepada para santri yang telah menunggu pengajarannya.
Selain kisah dari Abu
Yazid Al-Busthami ada kisah dari Nabiyyullah
Nuh AS. Diceritakan bahwa asal mula nama Nabi Nuh adalah Abdul Ghafar, ada cerita dibalik nama Nuh
tersebut, Suatu ketika, dalam satu perjalanan, Abdul Ghoffar berpapasan
dengan seekor Anjing lusuh bermata empat dan begitu mengerikan. Melihat hal aneh
dan jarang beliau temui ini, beliau bergumam: “Wah, Anjing ini begitu jelek.” Sepertinya
si Anjing mendengar gumaman beliau, dia terus memandangi manusia di hadapann yaitu
dengan tatapan sinis. Sejurus kemudian, saat beliau hendak berlalu, tanpa diduga,
si Anjing menyeru: “Hai Abdul Ghoffar! Siapa yang kaucela tadi? Ukirannya ataukah
Pengukirnya?!”
“Jika yang kaucela adalah ukirannya, yakni aku, maka ketahuilah bahwa aku tak pernah meminta untuk diciptakan menjadi Anjing seperti ini! Dan jika yang kaucela adalah Sang Pengukir, maka ketahuilah bahwa Dia melakukan apa yang Ia kehendaki dan tidak satu cela pun Ia punyai, ingat itu!”
Belum sempat Abdul Ghoffar berkata-kata, si Anjing berlalu begitu saja, meninggalkan beliau yang masih terbelalak dan merenungkan setiap butir kata-katanya. Beliau terus menerus memikirkan kata-kata si Anjing, semakin lama semakin beliau pahami maknanya. Tetes demi tetes air mata membasahi pipinya, beliau menyesal dan meratapi kekeliruan ucapan dan anggapannya. Sejakitu, karena banyaknya meratapi kesalahan (Naaha – Yanuuhu), beliau dijuluki orang-orang sekitarnya dengan sebutan ‘Nuh’, sang peratap.[1]
“Jika yang kaucela adalah ukirannya, yakni aku, maka ketahuilah bahwa aku tak pernah meminta untuk diciptakan menjadi Anjing seperti ini! Dan jika yang kaucela adalah Sang Pengukir, maka ketahuilah bahwa Dia melakukan apa yang Ia kehendaki dan tidak satu cela pun Ia punyai, ingat itu!”
Belum sempat Abdul Ghoffar berkata-kata, si Anjing berlalu begitu saja, meninggalkan beliau yang masih terbelalak dan merenungkan setiap butir kata-katanya. Beliau terus menerus memikirkan kata-kata si Anjing, semakin lama semakin beliau pahami maknanya. Tetes demi tetes air mata membasahi pipinya, beliau menyesal dan meratapi kekeliruan ucapan dan anggapannya. Sejakitu, karena banyaknya meratapi kesalahan (Naaha – Yanuuhu), beliau dijuluki orang-orang sekitarnya dengan sebutan ‘Nuh’, sang peratap.[1]
Itulah
sepenggal hikmah bagaimana seorang sholeh diingatkan oleh seekor Anjing atas ketakaburan
yang ada dalam hatinya bahwa mereka mengangggap hina ciptaan Tuhan. Tanpa sadar
Anjing tersebut memberikan pengajaran bagi Abu Yazid dan Nabi Nuh AS tentang Ketwadlu’an.